Kamis, 04 Juni 2009

Upacara

A. Pengertian Upacara dan Kebaktian1. Pengertian UpacaraUpacara adalah suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait dengan aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. Dalam suatu upacara yang terkait dengan aturan adat dan agama, seperti upacara ritual (ritus), sembahyang, upacara kurban, dan lain-lain. Sedangkan di dalam agama Hindu yang terkait dengan upacara keagamaan, seperti persembahyangan, persembahan atau korban (Yahna), dan lainnya.Upacara juga merupakan suatu aspek terakhir dari unsur keimanan dalam sistem agama Hindu, karena itu ia merupakan kedudukan yang sangat penting pula yang harus diperhatikan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh setiap umat Hindu.Dalam kitab Reg Weda, yang dikemukakan ada 4 macam cara untuk mencapai tujuan atau pemujaan kepada Tuhan di dalam maksud upacara tersebut yaitu:

a. Dengan melalui cara mengucapkan mantra-mantra, cara ini dikenal pula dengan istilah bhakti-marga.

b. Dengan melalui cara menyanyikan lagu-lagu pujian atau Hymn misalnya melagukan mantera dan storta, cara ini dikenal dengan istilah wibhukti-marga.

c. Dengan melalui cara keilmuan, misalnya mengamati dan mengamalkannya, cara ini dikenal dengan Jnana-Marga.d. Dengan melalui cara melakukan yadnya yaitu yang disebut ajaran karma-marga.

2. Pengertian kebaktianBiasanya pengertian kebaktian ini lebih cenderung pada agama Kristen, tetapi disini pengertian kebaktian itu berdasarkan agama Hindu.Kebaktiana berasalh dari kata bakti yaitu patuh, tunduk, dan hormat. Jadi bisa dikatakan bahwa kebaktianadalah merupakansesuatu hal yang dilakukan oelh orang-orang yang beragama Hindu untuk beribadah kepadaroh-roh nenek moyang yang suci. Maksudnya

dalamarti ibadah tersebut adalah merupakan patuh, tunduk, dan hormat kepada roh-roh nenek moyang yang suci, dari cara pelaksanaannya yang mereka lakukan adalah dengan cara-cara yang sacral seperti ritual, upacara kurban, sembahyang, doa dan lain-lain, serta mereka menganggap bahwa ibadah itu merupakan hal yang skral pula

B. Upacara-upacara dan Kebaktian dalam Agama Hindu1. Upacara dalam agama HinduYang termasuk upacara di dalam agama hindu ini adalah sebagai berikut:a. Ritual (ritus)Dalam upacara keagamaan, ritual ini merupakan kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus yang tidak dpat dipahami secara ekonomi dan rasional, seperti cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan, yaitu melakukan tawaf di sekeliling ka’bah, pada umumnya tidak dapat dipahami keuntungan dan alasan rasional, upacara, persembahan, sesajen, dan lain-lain.Sebagai kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan, sedangkan sebagai kata benda adalah segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara gereja katolik.Dalam agama upacara ritual ini biasa dikenal dengan ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang.Sedangkan di dalam agama Hindu, ada dua macam ritual Hindu yang lazim di kalangan orang Hindu masa kini, yaitu sebagai ritual keagamaan vedis dan agamis. Ritual-ritual vedis meliputi kurban-kurba kepada para dewa, suatu upacara kurban berupa melakukan persembahan seperti sesajian makanan-makanan dan dalam kesempatan tertentu berupa binatang. Biasanya sesajin ini ditempatkn pada baki suci di lemparkan ke dalam api suci yang di nyalakan di atas altar pengorbanan.Suatu perbedaan antara upacara-upacara keagaman umum yang besar dengan upacara domestik. Upacara-upacara keagaman umum dilakukan dengan rumusan samhita dan memerlukan perapian. Sedangkan upacara keagamaan domestik dilakukan di depan tungku keluarga oleh kepala keluarga yang menggunakan rumusan dari kumpulan doa-doa khusus.Ritual vedis bertujuan untuk mengangkat, memperkuat prosedur-prosedur sekular yang berkaitan dan bertujuan untuk menetapkan suatu hubungan antara dunia ilahi dengan dunia manusia.Ritual agamis memusatkan perhatian pada penyembahan antara dunia ilahi dengan dunia manusia.Ritual agamis memusatkan perhatian pada penyembahan pujaan-pujaan pelaksanaan puasa serta pesta-pesta yang termasuk bagian agama Hindu yang merakyat. Barang pujaan, yang hanya merupakan tanda untuk makhluk tertinggi melambangkan yang ilahi.Bentuk khas dari praktik keagamaan Hindu adalah cara penyembahan yang disebut puja. Dalam suatu rangkaian ritual, modelnya wang-wangian. Makanan dan minuman di persembahkan kepadanya. Patung tersebut diarak keluar dari halaman kuil.Dalam agama vedis, Agni adalah dewa yang menjadi tempat kesatuan antara dunia ilahi dan dunia manusiawi. Agni sebagai api melahap pengurbanan dan sebagai imam mempersembahkannya kepada dewa-dewa yang ada di atas. Ia adalah peneggah antara dewa dan manusiab.

Upacara kurba
Ritus-ritus inisiasi dipraktekkan untuk menysucikan situasi-situasi kritis dan marginal dalam hidup indivdu dan kolektif. Persiapan-persiapan sebelum kelairan, upacara-upapcara sekitar kelahiran, inisiasi memberikan nama waktu pubertas, perawinan, sakit dan upacara-upacara pemakaman diselenggarakan di seluruh dunia untuk mencegah bahaya-bahaya yang tersembunyi.Upacara kurban mempunyai tempat utama karena dengan manusia religus mengadakan pesembahan diri kepada dewa lewat suatu pemberian, dan hubungan serta komunikasi yang erat antara dia dengan dewa ditetapkan lewat keikutsertaan dan ambil bagian dalam persembahan yang disucikan, sebagai unsur dari fenomena sebagai dampak dalam agama-agama di dunia.Upacara kurban dalam Hindu, yang berupa persembahan hadiah dengan maksud untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari Tuhan, seperti kemakmuran, kesehatan, panjang umur, ternak, keturunan, dan lain-lain. Upacara kurban bukan hanya suatu pesembahan, tetapi juga suatu penyucian, suatu perpindahan dari yang profane kepada yang kudus, yang mengubah bentuk kurban yang dipersembahkan maupun orang yang mempersembahkannya. Melalui kurban itulah komunikasi antara yang kudus dan yang profane di bangun, yang juga merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dengan peribadahan.Upacara-upacara kurban dibedakan menjadi upacara kurban domestik dan umum sesuai dengan hadir tidaknya imam-imam dan menurut jumlah api yang digunakan upaara-upaara kurban domestik dijalankan dengan mnggungakan api, melemparkan butiran-butiran beras yang direndam dengan minyak mentega dan mengucapkan mantra-mantra. Sedangkan kepala rumah tangga melakukannya di atas perapiannya sendiri, persembahan yang dilakukan merupakan hasil-hasil bumi yang mereka tanam.Upacara-upacara kurban umum dilakukan oleh imam-imam di altar, dijalankan dengan mnggunakan api, melemaparkan butiran-butiran beras Yang direndam dengan minyak mentega dan mengucapkan mantra-mantra. Tetapi upaara-upacara ini tidak menggunakan persembahan dari hasil-hasil bumi, tetapi dengan binatang seperti kurban kuda, upacara ini merupakan pesta kerajaan dan rakyatnya.Dari aspek lain, upaara kurban adalah suatu penyatuan mistik di dalam mana pengurban melahirkan masa depannya sendiri di altar, dan melalui uptttacara kurbanlah manusia menebus keberadaanya dari para dewa.

C. SembahyangPada tiap hari raya piodalan, tempat-tempat suci dan pada hari-hari tertentu, orang-orang mengadakn upacara persembahyangan yang disertai pula dengan upacara banten. Persembahyangan ini ada yang dilakukan sendiri-sendiri dan ada pula secara besama-sama.Rangkaian persembahyangan baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan hasil keputusan mahasabha perisada hidup Dharma Indonesia ke VI di Jakarta tahun 1991, sebagai berikut:1. Persiapan sembahyangYang meliputi persiapan secara lahir dan batin. Secara lahir persiapan itu dapat meliputi kebersihan badan, sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap tangan dan lain-lain. Yang merupakan sarana penunjang persiapan ini yaitu pakaian yang bersih yang tidak mengganggu ketenangan pikiran, adanya bunga dan dupa sedangkan persiapan atin adalah ketenangan dan kesucian pikiran.

2. Puja TrisadhyaSetelah sikap badan itu baik, maka dilanjutkan dengan melaksanakan puja Trisdhya, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Asana, merupakan sikap duduk bersila (bagi pria) dan bersimpuh (bagi wanita) serta memusatkan pikiran kehadapan HyangWidhi, dengan mantra-mantra.
b. Pranayama, mengatur jalannya nafas, gunanya untuk menenangkan dan mengheningkan pikiran agar dapat menyatu dengan Hyang Widhi yang di sertai mantra-mantra
c. Karasoddhana (pembersihan tangan)
d. Mantra Trisandhya

3. Urutan-urutan sembahUrutan-urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri maupun bersama-sama yang dipimpin oleh seorang pemangku. Namun terlebih dahulu yang perlu diperhatikan adalah sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah kedua telapak tangan dikatupkan dan diletakkan di depan ubun-ubun adapun urutan-urutan sembah tersebut sebagai berikut:

a. Sembahyang puyung
b. Sembah kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasnya sebagai sanghyang Aditya
c. Sembah kehadapan HyangWidhi sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembayangan. Ista Dewata artinya Dewata (pewujudan Tuhan) yang dipuja pada kwatu persembahyangan saat itu.d. Sembah kepada Hyang Widhi seagai pemberi Anugrerahe. Sembah Puyung, Sebagai Penghormatan pada dewa yang tak terpikirkan yang Maha Tinggi dan Ghaib.

Setelah persembahyangan selesai, maka dilanjutkan dengan mohon tirtha dan bija,. Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh pada Hyang Widhi. Tirtha ini dipercikkan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka yang bertujuan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari kotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya.Sedangkan wija adalah biji kertas yang di cuci dengan air cendana. Wiji ini sebagai lambang kumara yaitu putra atau bija Bharata (Dewa) Siwa. Kumara adalah benih ke-siwa-an yang bersemayam di dalam diri setiap orang.

4. DoaDalam agama Hindu, doa yang disebut juga mantra, Stawa atau Brahma merupakan bagian yang penting dalam menumbuhkan dan memantapkan keyakinan kita terhadap adanya Hyang Widhi. Doa-doa ini selalu disampikan pada setiap kegiatan atau kejadian untk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Doa merupakan salah satu unsur keyakinan yang mempunyai kedudukan yang penting dan memiliki kegunaan serta manfat yang besar dalam pembinaan etika, moral, dan spiritual, oleh karena itu doa harus diyakini dan diucapkan atau disampaikan dengan kesucian serta ketulusan hati kepada HyangWidhi, sebagai puja dan puji guna tercapainya satu tujuan yang diharapkan di dalam hidup iniFungsi dan tujuan doa dalam kehidupan ini, yaitu sebagai berikut:


a. Sebagai pernyataan rasa syukur atas anugerah Hyang Widhi yang telah menciptakan dunia dengan segala isinya, termasuk segala sesuatu yang diperlukan bagi kehidupan manusia dan semua makhluk.
b. Sebagai Sadhana untuk mohon perlindungan dan keselamatan serta agar selalu di jauhkan dari segala caobaan, rintangan, godaan hidup yang ingin mengganggu kehidupan kita.
c. Dengan doa, kita memohon anugerah kehadapan Hyang Widhi berupa kesucian lahir dan batin, kesempurnaan moral dan spiritual serta kebahagiaan hidup di dunian dan di akhirat.Cara dan sikap berdoa, ada beberapa cara dan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Doa yang dilakukan dengan pengucapan kata-kata suci atau mantram
b. Doa yang dilakukan dengan bahasa simbul dalam bentuk upacara
c. Doa yang dilakukan dengan menggunakan upacara dan mantram sekaligusDoa-doa ini dlakukan dengan mengucapkan mantram sesuai dengan tujuan masing-masing, tanpa menggunakan sarana atau bahasa simbul


Latar belakang dan pengertian.
Melaksanakan upacara yadnya termasuk di dalamnya upacara Pitra Yadnya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat Hindu.
Upacara Pitra Yadnya terdiri dari:

Upacara Sawa Wedana bermakna mengembalikan unsur- unsur Panca Maha Bhuta (Sthula sarira) dan menyucikanatma orang yang telah meninggal) dunia.
Upacara Atma Wedana
bermakna menyucikan suksma sarira dan atma sebagai kelanjutan dari upacara Sawa Wedana. Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Dewa Hyang)
dapat dilaksanakan berupa menstanakan kembali atma (roh suci) yang diyakini telah mencapai "Atmasiddha dewata".di Sanggah Kamulan (Pemerajan) atau Pura Kawitan (Pura Leluhur).

Tujuan dan fungsi upacara.
Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara (Menstanakan Dewa Hyang/ Atma leluhur diyakini telah suci) bertujuan untuk menjalin bhakti keturunan atau santana dengan para leluhur di samping juga melalui para leluhur umat manusia dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi.Adapun fungsi upacara pemujaan kepada para leluhur ini adalah sebagai sarana supaya para leluhur dapat memberikan perlindungan dan pengayoman kepada keturunannya, di samping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Tata Pelaksanaan.
Rangkaian upacara
Setelah melaksanakan upacara Atma Wedana, dilanjutkan pula dengan upacara Nyegara Gunung/ Nyegara Giri atau Majar- ajar ke laut dan ke gunung.
Upacara selanjutnya adalah menstanakan atau Ngalinggihang Dewa Pitara atau Dewa Hyang dengan rangkaian sebagai berikut
Nuntun dari pura Dalem (Kahyangan Tiga, Segara atau Pura Dalem Puri Besakih.
Dilanjutkan dengan upacara menstanakan Ngalinggihang di Sanggah Kamulan (Pamerajan) atau Pura Kawitan (leluhur).
Penjelasan :
Bagi yang nuntun di pura Dalem (Kahyangan Tiga)Pertama melaksanakan upacara mempersembahkan sesajen (ayaban) ke hadapan Ida Bhatara di pura Dalem (Siwa). Selanjutnya pimpinan upacara (Pinandita atau. Pandita) memohon supaya leluhur keluarga yang bersangkutan (yang memohon) diperkenankan disthanakan pada Sanggah Kamulan (Pamerajan), Pura Kawitan atau pura leluhur.Sarana yang dipergunakan adalah "Daksina palinggih" yang kemudian dilanjutkan dengan upacara Pradaksina mengelilingi palinggih Pura Dalem tiga kali. Sebelum upacara ini dilaksanakan terlebih dahulu dipersembahkan Segehan Agung dengan "penyambleh ayam Hitam". Dewa Pitara (Dewa Hyang kemudian diiring menuju Sanggah Kamulan (Pemerajan), Pura Kawitan atau Pura Leluhur untuk disthanakan.
Bagi yang memilih nuntun dari segara rangkaian upacaranya hampir sama dengan menuntun di pura Dalem (Kahyangan Tiga) dengan tambahan mapekelem (persembahan sesajen yang dilabuh ke laut) berupa sajen suci hitam, itik hitam dan salaran.
Bagi yang memilih menuntun di Pura Dalem Puri upacaranya lebih besar dan upacara (l) dan (2) di atas. dengan pertama melaksanakan upacara di Pura Segara Gua Lawah dan dilanjutkan. dengan upacara ke Pura Dalem Puri. Sebelum menuju PuraDalem Puri terlebih dahulu mempersembahkan sesajen "Piuning" ke Pura Manik Mas, Bangun Sakti, Ulun Kulkul, Pura Gua dan Pura Banua.Perjalanan selanjutnya dan Pura Manik Mas menuju pura Dalem Puri terlebih dahulu menyeberangi Titi Gonggang dan Batu Macepak yang terletak pada jurang sebelah barat Pura Manik Mas.Pada kedua tempat ini (Titi Gonggang dan Batu Macepak) mempersembahkan sesajen Pejati atau Penebusan. Setelah selesai memohon Dewa Pitara di Dalem Puri dilanjutkan dengan mempersembahkan Pejati di Pura Basukihan, Padharman (bila yang bersangkutan memiliki Padharman) dan diakhiri dengan mempersembahkan Pejati di Pura Penataran Agung.
Upakara (Sesajen).Adapun upakara atau sesajen dan sarana yang merupakan inti adalah : Banten saji Dewa Putih Kuning, Jerimpen Agung, Sesayut, Pangulapan, Pengambyan, Benang Tri Datu (tiga .warna : merah, putih, hitam) satu tukel (satu gulung),uang kepeng 225 biji yang diikatkan pada benangtridatu. Sebuah tutup (tombak) yang diikat dengan benang tridatu dialasi l buah kelapa yang dikupas serabutnya, diisi beras, pada ujung tombak dilengkapi dengan "Sat- sat" dari janur di samping sebuah daksina palinggih dan kain sebagai Tigasana.Penjelasan:Jumlah dan sarana upakara (sesajen) disesuaikan dengan kemampuan (desa, kala, patra) serta petunjuk Pinandita atau Pandita.
Puja Mantra :Puja Mantra disesuaikan dengan manifestasi Sang Hyang Widhi yang dipuja :
Durgastawa.
Sagarastawa.
Pertiwistawa.
Gurustawa.
Saraswatistawa.
Prajapatistawa.
Dan lain- lain sesuai dengan lokasi pura dan sarana upakaranya.
Penjelasan :Bila yang memimpin upacara seorang Pinandita (Pamangku) hendaknya mempergunakan "seha" sesuai dengan kewenangannya.
Sumber ajaran.Pemujaan Dewa Pitara atau Pitara yang telah suci adalah merupakan salah satu pokok ajaran agama Hindu yang mengajarkan penyembahan kepada leluhur yang telah suci atau Dewa Pitara di samping menyembah Ida Sang Hyang Widhi dan Dewa- Dewa sebagai manifestasi Nya. Pemujaan leluhur yang telah suci itu diajarkan dalam kitab suci agama Hindu dan sastra- sastranya yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan umat di mana agama Hindu itu berkembang. Sumber- sumber ajaran tersebut antara lain sebagai berikut:
Weda.
Itihasa dan Purana.
Negara Kertagama.
Wrhaspatitattwa.
Siwagama
Siwatattwapurana.
Purwabhumikamulan.
Puja Mamukur.
Yama Purwanatattwa.
Pitutur Leburgangsa. Sanghyang Leburgangsa.

Alat- alat Upacara
Penjor
Pengawin-awinPengawin untuk upacara keagamaan tangkainya menurut ukuran asta kosala, bila dipergunakan harus diberi sasap, serta diprayascita. Pengawin jenis senjata Nawasanga, payung pagut, lelontek, umbul- umbul dengan lukisan naga, kober dengan lukisan Hanoman, garuda dan Gana dan lukisan- lukisan yang mengandung simbul keagamaan serta segala jenis umbul- umbul yang memakai uncal hanya boleh dipergunakan untuk keperluan upacara keagamaan.
Canang Sari:Canang Sari yang lengkap hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan upacara keagamaan (yang dengan porosan, tebu dan lain- lainnya).
Urassari:Urassari yakni hiasan bunga- bunga saja yang terdapat pada bagian atas dari canang sari dapat dipergunakan untuk keperluan lain, dengan sebutan puspawarsa. Puspa sama dengan bunga dan warsa sama dengan hujan, Puspa warsa berarti hujan bunga.
Gebogan/ Pajegan:Bila dipergunakan untuk lain- lain maksud di luar upacara keagamaan hendaknya tidak memakai sampian lebih- lebih porosan.
Lamak dan sebagainya:Lamak untuk upacara keagamaan, adalah lamak yang memakai simbul- simbul keagamaan yang lengkap misalnya, simbul gunungan, kekayonan, cili- cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya, dan pemasangannya dilengkapi dengan gantungan- gantungan dan pelawa.Untuk keperluan lain tidak dipergunakan simbul- simbul yang lengkap, serta pemasangannya tidak disertai gantungan- gantungan dan pelawa.
Istilah:Untuk menghindari kesalahan pengertian, segala bentuk elemen hiasan yang menyerupai alat perlengkapan keagamaan yang sebenarnya, diberi nama dengan istilah- istilah lain, misalnya:
Yang menyerupai penjor disebut pepenjoran.
Yang menyerupai lamak disebut lelamakan.
Yang menyerupai gebogan disebut gegebogan, demikian dan seterusnya.

Contoh Upacara

Piodalan
Upakara/ upacara piodalan berwujud upakara/ upacara untuk ngerekayang Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya dengan itu umat mewujudkan rasa baktinya.
Kerangka upakara/ upacara piodalan melambangkan:
Utama Angga (hulu).
Madhyama Angga (angga/ sarira).
Nistama Angga (suku/ delamakan).
Pelaksanaan upakara/ upacara piodalan nista, madya, utama, untuk pemerajan dan kahyangan tiga.
Tata urutan upacara piodalan:
Nuwur/ nurunang (Utpati).
Ngadegang/ nyejer (Sthiti).
Ngeluwurang/ nyimpen (Pralina).
Susunan/ tingkat upakara/ upacara sesuai dengan prasaran (tanpa perubahan)

Setiap yadnya (upacara agama) hendaknya dilaksanakan dengan dasar hati yang suci, tulus ikhlas dradha matwang, tiaga dana, berlandaskan Tri Kaya Parisudha.

Setiap upakara/ upacara keagamaan adalah sakral, tidak layak jika dipergunakan untuk kepentingan lain.

Pengertian Panca Wali Krama.Panca Wali Krama adalah upacara buta yadnya dengan tujuan untuk pemahayu jagat.
Jenis Panca Wali KramaPanca Wali Krama sesuai dengan saat dan tempat dilakukan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
Panca Wali Krama padgati kala (sewaktu- waktu), yaitu upacara Bhuta Yadnya sewaktu- waktu demi penyucian akibat durmengala agung Kahyangan/ Jagat.
Panca Wali Krama berjangka, yakni upacara bhuta Yadnya setiap sepuluh tahun di Besakih, diselenggarakan untuk pergantian tenggek.
Penyelenggara Karya Panca Wali Krama di Besakih. Oleh karena Panca Wali Krama di Besakih adalah Karya jagat, maka Karya diselenggarakan oleh Sang Aji Bali (lontar Raja Purana Besakih).Pelaksanaannya diselenggarakan oleh Umat Hindu dengan bantuan Pemerintah Daerah

UPACARA UPASAKSI

Maha Esa yang bertujuan untuk menyatakan kebenaran perbuatan seseorang baik yang telah lalu maupun yang akan datang.
Bentuk- bentuk Upacara Upasaksi.
Upasaksi sumpah jabatan, adalah upasaksi dalam hubungan sumpah jabatan yang akan dipangku oleh anggota ABRI maupun Sipil.
Upasaksi/ Sumpah di Pengadilan adalah sumpah yang berhubungan dengan perkara di pengadilan.
Upasaksi/ Sumpah dalam bentuk cer (berhubungan. dengan penguatan pengakuan), adalah sumpah yang mempergunakan sarana mantram Aricandani.
Pelaksanaan Upasaksi.
Upasaksi sumpah jabatan:
Pengambilan sumpah adalah pejabat yang ditunjuk.
Yang akan disumpah berpakaian sopan sesuai dengan pakaian dinas.
Sikap yang akan disumpah berdiri tegak :
Sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" untuk Sipil.
Anggota ABRI dalam sikap sempurna.
Saksi pendamping adalah Rohaniawan atau pejabat yang ditunjuk dengan sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" sebaiknya berdiri di sebelah kanan dari yang disumpah.
Sarana untuk Sipil sebaiknya memegang dupa yang menyala dengan sikap tangan "'DEWA PRESTISTHA sedapat mungkin dilengkapi dengan sarana upacara lainnya seperti air suci canang sari, dan daksina.Sarana untuk anggota ABRI sebaiknya sama dengan sipil kecuali upacara penyumpahan di lapangan.
Sarana mantram yang dipergunakan oleh yang mengambil sumpah adalah : Om atah Parama Wisesa, saya bersumpah sesuai dengan sumpah yang telah ditentukan.
Upasaksi/ Sumpah di Pengadilan.
Pengambilan sumpah adalah pejabat yang ditunjuk.
Yang akan disumpah berpakaian sopan
Sikap yang akan disumpah berdiri tegak:
Sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" untuk sipil dengan memegang dupa yang menyala.
Anggota ABRI dengan sikap sempurna.
Saksi pendamping untuk Mahkamah Militer berdiri tegak dalam sikap tangan "DEWA
PRESTISTHA".
Upasaksi/ Sumpah dalam bentuk cer (berhubungan dengan penguatan pengakuan):
Pengambil sumpah rohaniawan yang ditunjuk.
Tempat pelaksanaan yaitu di tempat suci.
Yang disumpah berpakaian putih atau pakaian adat setempat.
Sarana upacara sesuai dengan kondisi setempat.


Batas- batas dan Wewenang Muput/ Upacara/ Upakara yadnya

Kewenangan Para Sulinggih dari Pinandita di dalam struktur kemasyarakatan Hindu adalah merupakan sarana agama yang amat penting untuk terlaksananya upacara/ upakara yadnyasebagai berikut:
Sulinggih:Berdasarkan Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma Ke II Tanggal- 2 s/ d 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Sulinggih, ialah mereka yang telah· melaksanakan upacara/ upakara Diksa ditapak oleh Nabenya dengan Bhiseka, Pedanda, Bhujangga, Resi Bhagawan, Empu dan DukuhKewenangan Sulinggih:Para Sulinggih berwenang menyelesaikan segala upacara/ upakara Panca Yadnya umat Hindu (Loka Phala Sraya)
Pinandita:Yang dimaksud dengan Pinandita, ialah mereka yang telah melaksanakan upacara/ Upakara yadnya Pawintenan sampai dengan "Adiksa Widhi" dengan tidak "ditapak" dan "amari aran", yaitu : Pamangku, Mangku Dalang, Wasi, Pengemban, Mangku Balian/ Dukun dan DharmaAcarya.Kewenangan Pinandita.
Menyelesaikan upacara puja wali/ piodalan sampai tingkat piodalan pada pura yang bersangkutan
Apabila Pinandita menyelesaikan upacara di luar Pura yang diemongnya atau upacara/ Upakara yadnya itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara/ upakara yadnya tersebut bersifat rutin seperti puja wali/ odalan, manusa yadnya, bhuta yadnya, yang seharusnya dipuput dengan tirtha Sulinggih, maka Pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirtha Sulinggih selengkapnya.
Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan nganteb/ mesehe serta memohon tirtha ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari yang melinggih atau yang disthanakan di Pura tersebut termasuk upacara yadnya membayar kaul dan lain- lain.
Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yadnya/ Caru Pinandita diberi wewenang muput upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimum sampai dengan tingkat "Panca Sata" dengan mempergunakan tirtha Sulinggih.
Dalam hubungan muput upacara Manusa Yadnya, Pinandita .diberi wewenang dari upacara bayi lahir, sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih.
Dalam hubungan dengan muput upacara pitra yadnya Pinandita diberi wewenang sampai pada mendem sawa sesuai dengan Catur Dresta.
Catatan:
Agar para Sulinggih dan Pinandita di dalam memimpin pelaksanaan upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra (Pustaka lontar) yang mengaturnya.
Agar para Sulinggih berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan para Pinandita.
Agar diadakan Pahoman (Pasraman) para Sulinggih dan para Pinandita di dalam menyesuaikan memantapkan dan meningkatkan ajaran agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.
Agar Para Sulinggih di samping untuk memimpin penyelesaian upakara yadnya, juga patut memberikan Upadeça untuk memantapkan pengertian dan pengamalan ajaran agama Hindu

KesimpulanUpacara adalah suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait dengan aturan-aturan adat atau agama. Dan juga merupakan aspek terakhir dari unsur keimanan dalam agama Hindu.Cara untuk mencapai tujuan atau pemujaan terhadap Tuhan dalam agama hindu di dalam kitab Reg Weda, ada 4 macam, yaitu:1. Melalui cara mengucapkan mantra-mantra2. Melalui cara mengyanyikan lagu-lagi3. Melaluui cara keilmuan4. Melalui cara Yadnya5. Upacara-upacaranya yaitu:1. Ritual (ritus)2. Upacara kurban3. Sembahyang4. DoaSedangkan kebaktian adalah tunduk, patuh dan hormat kepada roh-roh nenek moyang yang suci, dan mereka anggap seperti ibadah dan cara pelaksaannya itu merupakan cara-cara yang mereka anggap sakral, seperti ritual, upacara kurban, sembahyang, doa dan lain-lain. Di dalam kepercayaan agama Hindu.

Diringkas Oleh:

Nama : I Putu Darma Prayoga
Nim : 080020058
Kelas : A082
Dari : Yayasan Bali Galang 2000-2003

Susila

PENGERTIAN SUSILA
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.

URAIAN


TRIKAYA PARISUDA

Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya

Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya, meliputi:


1.Berpikir yang benar - Pengendalian diri yang berdasarkan pikiran (Manacika)

Berpikir yang benar - Pengendalian diri yang berdasarkan pikiran (Manacika):
a) Tidak sekali- kali mengingini sesuatu yang bukan haknya.
b) Tidak berpikir / berprasangka buruk terhadap orang / makhluk lain.
c) Tidak mengingkari hukum Karmaphala

2. Berkata yang benar - Pengendalian diri yang berdasarkan perkataan (Wacika):

a) Tan wak parusnya/ Tan ujar ala
Tidak suka mencaci maki
b) Tan ujar mageleng/ Tan ujar aprigas
Tidak suka berkata kasar
c) Tan raja pisuna/ Tan ujar pisuna
Tidak suka memfitnah
d)Tan mitya macana/ Tan ujar mitya
Tidak ingkar pada janji

3. Berbuat yang Benar - Pengendalian diri berdasarkan perbuatan (Kayika):

a) Ahimsa karma
Tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain
b) Astenya
Tidak melakukan kecurangan terhadap milik orang lain
c) Tan anyolong smara/ aparadara
Tidak melakukan hubungan sanggama yang tidak sah

Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan. (satya hrdaya, satya wacana dan satya laksana) dalam Catur Paramita.
Ø Satya Hrdaya - satunya pikiran
Ø Satya Wacana - satunya tutur
Ø Satya Laksana - satunya laku

PANCA YAMA DAN PANCA NYAMA BRATA
5 Kebaikan yang harus dilakukan dan 5 keburukan yang harus dipantang

PANCA YAMA BRATA
Panca Yama Brata adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan sebagai berikut:
1 Ahimsa
Kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh atau menganiaya
2 Brahmacari
Berguru dengan sungguh- sungguh, tidak melakukan hubungan kelamin (sanggama) selama menuntut ilmu.
3 Satya
Setia, pantang ingkar kepada janji
4 Awyawaharika
Cinta kedamaian, tidak suka bertengkar dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
5 Astenya
Jujur, pantang melakukan pencurian

PANCA NIYAMA BRATA
Panca Niyama Brata adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma yang telah ditentukan, sebagai berikut:
1. Akrodha
Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan.
2.Guru Susrusa
Hormat dan taat kepada guru serta patuh pada ajaran- ajarannya.
3. Sauca
Senantiasa menyucikan diri lahir batin.
4. Aharalagawa
Pengaturan makan (makanan bergizi) dan tidak hidup berfoya- foya/ boros.
5. Apramada
Tidak menyombongkan diri dan takabur

TRI MALA
Trimala merupakan tiga jenis kekotoran dan kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Trimala patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan hidup, meliputi:
1.Mithya hrdya
berperasaan dan berpikiran buruk
2. Mithya wacana
berkata sombong, angkuh, tidak menepati janji
3.Mithya laksana
berbuat yang curang / culas / licik (merugikan orang lain)


SAD RIPU
Apabila Trimala telah menguasai seluruh hidup manusia timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia tidak mampu lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan hidupnya. Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total kehidupan manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu terdiri dari:
1. Kama
hawa nafsu yang tidak terkendalikan
2. Lobha
kelobaan (ketamakan), ingin selalu mendapatkan yang lebih.
3. Krodha
kemarahan yang melampaui batas (tidak terkendalikan).
4. Mada
kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
5. Moha
kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
6. Matsarya
iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.


CATUR ASRAMA
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai berikut:
Brahmacari Asrama adalah tingkat kehidupan berguru/ menuntut ilmu. Setiap orang harus belajar (berguru). Diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dengan pemberian Samawartana/ Ijazah.Dalam kegiatan belajar mengajar ini siswa/ Snataka harus mengikuti segala peraturan yang telah ditetapkan bahkan kebiasaan untuk mengasramakan siswa sangat penting guna memperoleh ketenangan belajar serta mempermudah pengawasan. Brahmacari juga mengandung makna yaitu orang yang tidak terikat/ dapat mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala tenaga dan pikirannya benar- benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta upaya pengembangan ketrampilan sebagai bekal hidupnya kelak.
Grehasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya). Oleh karena itu penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga dengan menjauhkan diri dari nafsu- nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/ moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.
Sanyasin (bhiksuka) Asrama adalah merupakan tingkat kehidupan di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Yang diabdikan adalah nilai- nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada masa ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk mencapai Moksa.


CATUR PURUSA ARTHA
Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah", yang berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian abadi).Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri dari:
Dharma
Merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia.
Artha
Adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar. Nafsu keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama, menghilangkan kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat tidak kekal berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain)
Kama
Adalah keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan. Dengan ungkapan lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah selarasnya kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang berlaku.
Moksa
Adalah kelepasan, kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan pawali duka).


CATUR WARNA
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
Warna Brahmana.
Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna Ksatrya.
Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Warna Wesya.
Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
Warna Sudra.
Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.


Kasta
Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya.
Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".



A.Bhagavad-Gita.

Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.Di dalam bab Karma Kandanya dijelaskan bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan gerak ini disebabkan oleh guna itu sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu

-Satwam :kebajikan
-Rajah :keaktifan
-Tamah :kepasifan, atau masabodoh

Sifat- sifat ini selanjutnya memberikan pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan warna dalam kelahiran manusia di dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh Guna Satwam akan menampilkan sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan. Seseorang yang diwarnai oleh Guna Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh kreatif, ingin berkuasa, ingin menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya diwarnai oleh Guna Tamah, akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif, lamban dalam segala- galanya.
Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap tubuh manusia yang lahir dan masing- masing guna ini berjuang saling mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang teguh iman maka Satwam itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu akan diatasi seluruhnya. Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam itu akan ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan Satwam akan ditundukkannya.
Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita menjelaskan timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna kelahiran dari kecenderungan sifat- sifat guna itu.
Bhagavad-Gita Bab IV sloka 13:
Artinya:
Caturwarnyam maya srishtamGuna karma wibhagasah.....................
Catur Warna adalah ciptaan- KuMenurut pembagian kwalitas kerja.....................

B. Bhagawata Purana.

Di dalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuçcaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya.Dari perbuatan dan sifat- sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi, jujur adalah gambaran seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyhur, suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah yang disebut Ksatrya.

C. Sukra Niti.

Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu.

D. Wiracarita Mahabarata.

Di sini dijelaskan bahwa sifat- sifat Brahmana ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa, cenderung untuk melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak dari seorang Sudra yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di atas, mereka bukanlah Sudra tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra.
Dari sumber- sumber tersebut di atas kita peroleh suatu pandangan dan pengertian yang sama mengenai Catur Warna, yaitu merupakan pembidangan karya dan sikap mental manusia yang mewarnai pengabdiannya dalam swadharma masing- masing.

CATUR GURU
Untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru dalam bahasa Sanskerta berarti berat. Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap guru adalah:
Guru Swadyaya
Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
Guru Wisesa
Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
Guru Pengajian
Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Guru Rupaka
Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra).


Diringkas Oleh:
Nama : IPutu Darma Prayoga
Nim : 080020058
Kelas : A082
Dari : Yayasan Bali Galang 2000 - 2003

Rabu, 03 Juni 2009

Tatwa

Siwa Tatwa

“Memahami Siwa Tattwa Di Bali” ini menggunakan beberapa sumber Lontar seperti : Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa. Lontar-lontar tersebut adalah sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Adapun ikhtisar masing-masing Lontar tersebut adalah :
A. Bhuwana Kosa
Bhuwana Kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang di pandang sebagai Lontar tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Śiwaistik lainnya, seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajñāna, Maha jñāna, Ganapatitattwa dan sebagainya.
Dari segi isi secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : Bagian pertama adalah bagian Brahmarahasyam, yaitu : bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatāra Śiwa tentang Śiwa yang bersifat sangat rahasia. Sedangkan bagian kedua adalah : bagian Jñānarahasyam yang berisi percakapan antara Bhatāra Śiwa dengan Bhatāri Umā dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Śiwa yang bersifat sangat rahasia.
Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu : Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent. Immanent artinya : Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka), dan Transcendent artinya : Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia (Bhuwana Alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.
B. Wrhaspatitattwa
Wrhaspatitattwa dijelaskan terdiri atas 74 pasal dan menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksud sebagai terjemahan/penjelasan Sanskertanya.
Wrhaspatitattwa berisikan dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iswara berstana di pucak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga.
Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam dialog itu adalah : Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran dan Acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu : Parama Śiwa Tattwa, Sada Śiwa Tattwa, dan Śiwatma Tattwa, yang juga disebut dengan Cetana Telu (tiga tingkatan kesadaran). Yang ketiganya itu tidak lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramaśiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadaśiwa memiliki tingkat kesadaran menengah, dan Śiwatma memiliki tingkat kesadaran yang terendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh māyā. Paramaśiwa bebas dari pengaruh māyā sedang-sedang saja, sedangkan Śiwatma mendapat pengaruh Māyā yang paling kuat.
Sanghyang Widhi Paramaśiwa adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu mayā, karena itu Ia disebut “Nirguna Brahman”. Dan Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas.
Kemudian Paramaśiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh māyā. Dan pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaśiwa. Yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan SthanaNya. Pada tingkatan Paramaśiwa ini digambarkan sebagai perwujudan mantra disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan : Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan. Dengan Sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaanNya, karena itu, Ia disebut “Saguna Brahman”.
Pada tingkatan Śiwatma Tattwa, sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh māyā. Karena itu Śiwatma Tattwa disebut juga Māyā Sira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh māyā terhadap Śiwatma Tattwa, Śiwatma Tattwa tersebut dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut “Astawidyasana”. Dapat dijelaskan juga disini bilamana pengaruh māyā sudah demikian besarnya terhadap Śiwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi “Awidya”. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk didalamnya adalah manusia, maka Ia disebut Atma dan Jiwatman.
Meskipun Ātma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (ŚIWĀ), namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Māyā (Prdhāna Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Ātma ada dalam lingkungan Sorga-Neraka-Samsara secara berulang-ulang. Ātma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Dan apabila dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tersebut tadi, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran Samsara dan Reinkarnasi.
Bentruk atau wujud Reinkarnasi Ātma sangat banyak tergantung karma wasananya Ātma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk Reinkarnasi itu adalah sebagai “Sthawara Janggama” yang disebutkan sebagai penjelmaan yang paling jelek. Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus dihadiri. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspati tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan :
mempelajari segala tattwa (Jñanābhyudreka)
tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga).
tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (Trsnādosaksaya).
Dan lain dari pada yang tersebut itu, Wrhaspati Tattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadangga Yoga, yaitu Yoga yang didasari dan dibangun oleh Dasa sila (sepuluh prilaku yang baik).
C. Ganapati Tattwa
Ganapati Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā, dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara Śiwa sebagai Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu : tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna, Sukha, Acintya yaitu berkeadaan Maha bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya dan muncullah Sanghyang Jñanā Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga disebut Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang didalamnya terdapat Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.
Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut : “Gūhyalaya”. Dan juga Ganapati Tattwa mengajarkan tentang hakekat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata. Yang pertama-tama diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu :
1. Dari Brahma lahir gandha tan matra
2. Dari Wisnu lahir rasa tanmatra
3. Dari Rudra lahir rupa tanmatra
4. Dari Iswara lahir sparsa tanmatra
5. Dari Sadāśiwa lahir sabda tanmatra
Kemudian kelima tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit, seperti :
1. Sabda tanmatra menjadi Akasa, berwarna bersih dan bening
2. Sparsa tanmatra menjadi Bayu, yang berwarna putih
3. Rupa tanmatra menjadi Teja, berwarna putih, merah dan hitam
4. Rasa tanmatra menjadi Apah, berwarna hitam
5. Gandha tanmatra menjadi Pertiwi, berwarna kuning
Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai pada tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti :
1. Pertiwi lahir bumi atau tanah
2. Teja lahir matahari, bulan dan bintang
3. Apah lahir air
4. Bayu lahir angin
5. Akasa lahir suara
Dan setelah alam semesta itu tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan Panca Dewata berperan sebagai penjaganya, seperti :
1. Brahma bertempat di selatan menjaga bumi
2. Wisnu bertempat di utara menjaga air
3. Rudra bertempat di barat menjaga matahari, bulan dan bintang
4. Iswara bertempat di timur mejaga udara
5. Sadāśiwa bertempat ditengah menjaga ether
Demikianlah proses penciptaan bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata.
Proses penciptaan bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan penciptaan bhuwana agung, dan yang sama-sama diciptakan oleh Panca Dewata, seperti :
Brahma dan Wisnu menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air.
Rudra menciptakan mata dari teja
Iswara menciptakan nafas dari bayu
Sadāśiwa menciptakan suara dari akasa
Setelah itu barulah terbentuk Ātma menjelma dalam kehidupan manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut, seperti :
1. Brahma menempati muladara
2. Wisnu menempati nabhi (pusar)
3. Rudra menempati hati
4. Iswara menempati leher
5. Sadāśiwa menempati ujung lidah
Dalam proses perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan yang menjadi benih manusia disebut “Rupa Suksma” yang berkeadaan abstrak dan gaib. Rupa suksma ini menjadi sukla yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan, sedangkan swanita keluar dari Pradhana Tattwa. Keduanya kemudian bercampur dalam rahim si ibu. Disanalah ia terbentuk dan berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
- Umur satu bulan rupanya seperti buih
- Umur tiga bulan berwujud gumpalan darah
- Umur empat bulan menjadi Śiwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi ongkara dan suksma rupa
- Umur lima bulan menjadi Maya Reka
- Umur enam bulan menjadi seperti air
- Umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut gading
- Pada umur kedelapan menjadi anak gading yang disertai dengan nafas yang keluar dari ongkara, juga tulang, kuku da rambut
- Umur sepuluh bulan di jabang bayi keluar dari perut ibu
Yang menghidupi dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat perkembangannya, namun sesungguhnya hakekatnya adalah sama. Ketika masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Dan setelah sepuluh bulan dijiwai oleh sunia. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa menyebut nama ibu-ayah dihidupi oleh jiwa. Dan setelah dewasa dihidupi oleh Ātma.
Pada saat kematian terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : Ātma kembali kepada jiwa; jiwa kembali pada Nirwana; Nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmenge, dan Sanghyang Ngamutmenge kembali kepada niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.
Tujuan dari kelahiran adalah untuk bersatunya kembali Ātma kepada sumbernya, tidak terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati Tattwa memperkenalkan enam jenis yoga yang disebut dengan Sad Angga Yoga. Seorang Yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan Swalingga (Ātma lingga) dalam dirinya, di samping para lingga yang ada diluar dirinya. Dan tubuhnya sendiri dipandang sebagai kahyangan Dewata, sebagai Sadhana untuk mencapai kelepasan. Pada saat Ātma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga Ātma mencapai tujuan tertinggi.
Ada dua kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
1. Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang akan mengantarkan pada kemoksaan, apabila petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dilaksanakan dengan teguh. Disini Ātma tidak akan terlahirkan kembali.
2. Mungkin akan mencapai wyudhbhranti, yang akan mengantarkan pada kelahiran kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
Kelepasan dan kemoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia harus dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Jñāna dengan baik, adanya keyakinan terhadap ajaran tersebut, mampu mengendalikan indrya, patuh dan bhakti kepada guru, teguh dan tekun melaksanaka ajaran dharma, serta berlak suci lahir-batin sebagai landasan hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan seseorang pada pencapaian kelepasan atau kemoksan.
TUHAN DALAM SIWA TATTWA
A. Pandangan Umum
Sanghyang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu di Indonesia. Nama ini berarti Yang menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra lontar. Bhatara Siwalah panggilannya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra-sastra agama, seperti pada lontar-lontar yang disebutkan pada Lontar Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa dan lain sebagainya, maupun dalam saat, puja, upakara, arca-arca dan tempat-tempat pemujaan. Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sanghyang Widhi sebagai Bhatara Śiwa.
Dalam sastra-sastra agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran seperti yang tersebut di atas sering disebut ajaran Śaivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kita kepada nama Śaivasiddhantadi India selatan, namun bila diamati, terdapat perbedaan-perbedaan antara ajaran Śaivasiddhanta Indonesia dengan ajaran Śaivasiddhanta India Selatan. Dalam ajaran Śaivasiddhanta di Indonesia tanpa jalinan Upanisad (terutama Śvetaśvatara Upanisad dan Upanisad-upanisad Minor), ajaran Sankhya, Yoga, Vedanta atau ajaran-ajaran yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang pada akhirnya semua ajaran itu mengalir dari Weda. Maka Weda-lah sumber pertama ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, hakekatnya, jiwa dan semangatnya adalah sama.
Ajaran ketuhanan dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa. Kutipan-kutipan Weda dibawah ini menyatakan hal itu :
Indram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman,
ekam sad vipra bahudha vedantyagnim yamam matarisvanam ahuh
(Rg Veda I.164.46)
Artinya :

Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia
yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.
Satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut dengan banyak
nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapat uraian tentang Tuhan yang senada dengan isi mantra veda tersebut di atas. Uraian itu adalah sebagai berikut :
Sa eko bhagavan sarvah
Siva karana karanam,
aneko viditah sarwah
catur vidhasya karanam
Ek twanckatwa swalaksana Bhattara, Ekatwa ngaranya,
kahidep makalaksana ng siwatattwa. Ndan tunggal,
tan rwatiga kehidepanira. Mengekalaksana Siwa karana
juga, tan pa prabheda.
Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiran sthula suksma parasunya.
Artinya :
Sifat Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan.
Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah Sthula suksma para sunya.

Uraian-uraian seperti ini juga akan kita jumpai pula dalam lontar-lontar lainnya.
B. Tuhan Sumber Segala
Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sanskerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau bahasa Bali. Tuhan adalah sumber hidup, sumber tenaga, dari Dialah asal segala yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Taittiriya Upanisad menerangkan hal ini sebagai berikut :
Yato va imani bhutani jayante,
yena jatani jivanti
yat prayanty abhisam visanti,
tad vijinasasva tad brahmeti.
(Taittiriya Upanisad III.1)
Artinya :
Dari mana semua ini lahir, dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk setelah kembali, ketahuilah, bahwa itu adalah Brahman.
Dalam Siwatattwa, Brahman adalah Bhatara Siwa. Dialah yang mencipta, memelihara dan mengembalikan semua yang ada kepada dirinya sendiri, asal semua yang ada ini.
Brahmasrjayate lokam,
visnuve palakasthitam,
rudratve samharasceva,
trimurtih nama evaca
Lwir Bhattara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran
pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra
rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama.
(Bhuwana Kosa III.76)
Artinya :
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini ialah :
Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini,
Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini,
Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
Demikianlah tiga wujudNya (Trimurti) hanya beda nama.
Dalam uraian ini Bhatara Siwa adalah sebagai Trimurti. Dalam buku-buku Purana Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa, sedangkan dalam kutipan di atas adalah Brahma, Wisnu, dan Rudra. Dalam puja Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu dan Iswara.
Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu, dan Iswara dalam aksara dilambangkan sebagai “am, um, mam”. Kesatuan ketiga-ketiganya adalam “Om”. Bhatara Siwa sebagai Trimurti dalam lontar-lontar kebanyakan disebut sebagai “ Brahma, Wisnu, dan Iswara yang dilambangkan dengan warna : putih, Merah dan Hitam. Aktivitas Bhatara Siwa waktu menciptakan dunia disebut : utpatti, waktu menjaga dan merawatnya disebut sthiti, dan waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina.
C. Siwa bersifat immanen dan transenden
Bhatara Siwa bersifat immanen dan juga transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, sedangkan transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Kutipan dibawah ini meyatakan hal itu :
Sivas sarvagata suksmah
bhutanam antariksavat,
acintya maha grhyante,
na indriyam parigrhyante

Bhattara Siwa swa wyapaka, sira suksma tar kneng angen-
angen, kadyangga ning akasa, tan kagrhita de ning
manah mwang indriya
(Bhuwana Kosa II.16)
Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan,
Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriya.
Kutipan ini menyatakan bahwa Bhatara Siwa meresapi segala, berada dimana-mana, meliputi segala. Dengan demikian Ia pun hadir pula dalam pikiran dan Indriya, namun pikiran dan indriya tidak mampu menggapai Ia. ini berarti Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Demikianlah aspek imanen dan transenden Bhatara Siwa


“Memahami Siwa Tattwa Di Bali” ini menggunakan beberapa sumber Lontar seperti : Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa. Lontar-lontar tersebut adalah sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Adapun ikhtisar masing-masing Lontar tersebut adalah :
A. Bhuwana Kosa
Bhuwana Kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang di pandang sebagai Lontar tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Śiwaistik lainnya, seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajñāna, Maha jñāna, Ganapatitattwa dan sebagainya.
Dari segi isi secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : Bagian pertama adalah bagian Brahmarahasyam, yaitu : bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatāra Śiwa tentang Śiwa yang bersifat sangat rahasia. Sedangkan bagian kedua adalah : bagian Jñānarahasyam yang berisi percakapan antara Bhatāra Śiwa dengan Bhatāri Umā dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Śiwa yang bersifat sangat rahasia.
Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu : Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent. Immanent artinya : Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka), dan Transcendent artinya : Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia (Bhuwana Alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.
B. Wrhaspatitattwa
Wrhaspatitattwa dijelaskan terdiri atas 74 pasal dan menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksud sebagai terjemahan/penjelasan Sanskertanya.
Wrhaspatitattwa berisikan dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iswara berstana di pucak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga.
Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam dialog itu adalah : Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran dan Acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu : Parama Śiwa Tattwa, Sada Śiwa Tattwa, dan Śiwatma Tattwa, yang juga disebut dengan Cetana Telu (tiga tingkatan kesadaran). Yang ketiganya itu tidak lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramaśiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadaśiwa memiliki tingkat kesadaran menengah, dan Śiwatma memiliki tingkat kesadaran yang terendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh māyā. Paramaśiwa bebas dari pengaruh māyā sedang-sedang saja, sedangkan Śiwatma mendapat pengaruh Māyā yang paling kuat.
Sanghyang Widhi Paramaśiwa adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu mayā, karena itu Ia disebut “Nirguna Brahman”. Dan Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas.
Kemudian Paramaśiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh māyā. Dan pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaśiwa. Yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan SthanaNya. Pada tingkatan Paramaśiwa ini digambarkan sebagai perwujudan mantra disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan : Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan. Dengan Sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaanNya, karena itu, Ia disebut “Saguna Brahman”.
Pada tingkatan Śiwatma Tattwa, sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh māyā. Karena itu Śiwatma Tattwa disebut juga Māyā Sira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh māyā terhadap Śiwatma Tattwa, Śiwatma Tattwa tersebut dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut “Astawidyasana”. Dapat dijelaskan juga disini bilamana pengaruh māyā sudah demikian besarnya terhadap Śiwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi “Awidya”. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk didalamnya adalah manusia, maka Ia disebut Atma dan Jiwatman.
Meskipun Ātma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (ŚIWĀ), namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Māyā (Prdhāna Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Ātma ada dalam lingkungan Sorga-Neraka-Samsara secara berulang-ulang. Ātma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Dan apabila dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tersebut tadi, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran Samsara dan Reinkarnasi.
Bentruk atau wujud Reinkarnasi Ātma sangat banyak tergantung karma wasananya Ātma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk Reinkarnasi itu adalah sebagai “Sthawara Janggama” yang disebutkan sebagai penjelmaan yang paling jelek. Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus dihadiri. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspati tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan :
mempelajari segala tattwa (Jñanābhyudreka)
tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga).
tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (Trsnādosaksaya).
Dan lain dari pada yang tersebut itu, Wrhaspati Tattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadangga Yoga, yaitu Yoga yang didasari dan dibangun oleh Dasa sila (sepuluh prilaku yang baik).
C. Ganapati Tattwa
Ganapati Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā, dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara Śiwa sebagai Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu : tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna, Sukha, Acintya yaitu berkeadaan Maha bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya dan muncullah Sanghyang Jñanā Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga disebut Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang didalamnya terdapat Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.
Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut : “Gūhyalaya”. Dan juga Ganapati Tattwa mengajarkan tentang hakekat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata. Yang pertama-tama diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu :
1. Dari Brahma lahir gandha tan matra
2. Dari Wisnu lahir rasa tanmatra
3. Dari Rudra lahir rupa tanmatra
4. Dari Iswara lahir sparsa tanmatra
5. Dari Sadāśiwa lahir sabda tanmatra
Kemudian kelima tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit, seperti :
1. Sabda tanmatra menjadi Akasa, berwarna bersih dan bening
2. Sparsa tanmatra menjadi Bayu, yang berwarna putih
3. Rupa tanmatra menjadi Teja, berwarna putih, merah dan hitam
4. Rasa tanmatra menjadi Apah, berwarna hitam
5. Gandha tanmatra menjadi Pertiwi, berwarna kuning
Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai pada tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti :
1. Pertiwi lahir bumi atau tanah
2. Teja lahir matahari, bulan dan bintang
3. Apah lahir air
4. Bayu lahir angin
5. Akasa lahir suara
Dan setelah alam semesta itu tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan Panca Dewata berperan sebagai penjaganya, seperti :
1. Brahma bertempat di selatan menjaga bumi
2. Wisnu bertempat di utara menjaga air
3. Rudra bertempat di barat menjaga matahari, bulan dan bintang
4. Iswara bertempat di timur mejaga udara
5. Sadāśiwa bertempat ditengah menjaga ether
Demikianlah proses penciptaan bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata.
Proses penciptaan bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan penciptaan bhuwana agung, dan yang sama-sama diciptakan oleh Panca Dewata, seperti :
Brahma dan Wisnu menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air.
Rudra menciptakan mata dari teja
Iswara menciptakan nafas dari bayu
Sadāśiwa menciptakan suara dari akasa
Setelah itu barulah terbentuk Ātma menjelma dalam kehidupan manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut, seperti :
1. Brahma menempati muladara
2. Wisnu menempati nabhi (pusar)
3. Rudra menempati hati
4. Iswara menempati leher
5. Sadāśiwa menempati ujung lidah
Dalam proses perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan yang menjadi benih manusia disebut “Rupa Suksma” yang berkeadaan abstrak dan gaib. Rupa suksma ini menjadi sukla yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan, sedangkan swanita keluar dari Pradhana Tattwa. Keduanya kemudian bercampur dalam rahim si ibu. Disanalah ia terbentuk dan berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
- Umur satu bulan rupanya seperti buih
- Umur tiga bulan berwujud gumpalan darah
- Umur empat bulan menjadi Śiwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi ongkara dan suksma rupa
- Umur lima bulan menjadi Maya Reka
- Umur enam bulan menjadi seperti air
- Umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut gading
- Pada umur kedelapan menjadi anak gading yang disertai dengan nafas yang keluar dari ongkara, juga tulang, kuku da rambut
- Umur sepuluh bulan di jabang bayi keluar dari perut ibu
Yang menghidupi dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat perkembangannya, namun sesungguhnya hakekatnya adalah sama. Ketika masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Dan setelah sepuluh bulan dijiwai oleh sunia. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa menyebut nama ibu-ayah dihidupi oleh jiwa. Dan setelah dewasa dihidupi oleh Ātma.
Pada saat kematian terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : Ātma kembali kepada jiwa; jiwa kembali pada Nirwana; Nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmenge, dan Sanghyang Ngamutmenge kembali kepada niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.
Tujuan dari kelahiran adalah untuk bersatunya kembali Ātma kepada sumbernya, tidak terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati Tattwa memperkenalkan enam jenis yoga yang disebut dengan Sad Angga Yoga. Seorang Yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan Swalingga (Ātma lingga) dalam dirinya, di samping para lingga yang ada diluar dirinya. Dan tubuhnya sendiri dipandang sebagai kahyangan Dewata, sebagai Sadhana untuk mencapai kelepasan. Pada saat Ātma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga Ātma mencapai tujuan tertinggi.
Ada dua kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
1. Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang akan mengantarkan pada kemoksaan, apabila petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dilaksanakan dengan teguh. Disini Ātma tidak akan terlahirkan kembali.
2. Mungkin akan mencapai wyudhbhranti, yang akan mengantarkan pada kelahiran kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
Kelepasan dan kemoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia harus dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Jñāna dengan baik, adanya keyakinan terhadap ajaran tersebut, mampu mengendalikan indrya, patuh dan bhakti kepada guru, teguh dan tekun melaksanaka ajaran dharma, serta berlak suci lahir-batin sebagai landasan hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan seseorang pada pencapaian kelepasan atau kemoksan.
TUHAN DALAM SIWA TATTWA
A. Pandangan Umum
Sanghyang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu di Indonesia. Nama ini berarti Yang menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra lontar. Bhatara Siwalah panggilannya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra-sastra agama, seperti pada lontar-lontar yang disebutkan pada Lontar Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa dan lain sebagainya, maupun dalam saat, puja, upakara, arca-arca dan tempat-tempat pemujaan. Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sanghyang Widhi sebagai Bhatara Śiwa.
Dalam sastra-sastra agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran seperti yang tersebut di atas sering disebut ajaran Śaivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kita kepada nama Śaivasiddhantadi India selatan, namun bila diamati, terdapat perbedaan-perbedaan antara ajaran Śaivasiddhanta Indonesia dengan ajaran Śaivasiddhanta India Selatan. Dalam ajaran Śaivasiddhanta di Indonesia tanpa jalinan Upanisad (terutama Śvetaśvatara Upanisad dan Upanisad-upanisad Minor), ajaran Sankhya, Yoga, Vedanta atau ajaran-ajaran yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang pada akhirnya semua ajaran itu mengalir dari Weda. Maka Weda-lah sumber pertama ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, hakekatnya, jiwa dan semangatnya adalah sama.
Ajaran ketuhanan dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa. Kutipan-kutipan Weda dibawah ini menyatakan hal itu :
Indram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman,
ekam sad vipra bahudha vedantyagnim yamam matarisvanam ahuh
(Rg Veda I.164.46)
Artinya :

Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia
yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.
Satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut dengan banyak
nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapat uraian tentang Tuhan yang senada dengan isi mantra veda tersebut di atas. Uraian itu adalah sebagai berikut :
Sa eko bhagavan sarvah
Siva karana karanam,
aneko viditah sarwah
catur vidhasya karanam
Ek twanckatwa swalaksana Bhattara, Ekatwa ngaranya,
kahidep makalaksana ng siwatattwa. Ndan tunggal,
tan rwatiga kehidepanira. Mengekalaksana Siwa karana
juga, tan pa prabheda.
Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiran sthula suksma parasunya.
Artinya :
Sifat Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan.
Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah Sthula suksma para sunya.

Uraian-uraian seperti ini juga akan kita jumpai pula dalam lontar-lontar lainnya.
B. Tuhan Sumber Segala
Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sanskerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau bahasa Bali. Tuhan adalah sumber hidup, sumber tenaga, dari Dialah asal segala yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Taittiriya Upanisad menerangkan hal ini sebagai berikut :
Yato va imani bhutani jayante,
yena jatani jivanti
yat prayanty abhisam visanti,
tad vijinasasva tad brahmeti.
(Taittiriya Upanisad III.1)
Artinya :
Dari mana semua ini lahir, dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk setelah kembali, ketahuilah, bahwa itu adalah Brahman.
Dalam Siwatattwa, Brahman adalah Bhatara Siwa. Dialah yang mencipta, memelihara dan mengembalikan semua yang ada kepada dirinya sendiri, asal semua yang ada ini.
Brahmasrjayate lokam,
visnuve palakasthitam,
rudratve samharasceva,
trimurtih nama evaca
Lwir Bhattara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran
pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra
rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama.
(Bhuwana Kosa III.76)
Artinya :
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini ialah :
Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini,
Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini,
Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
Demikianlah tiga wujudNya (Trimurti) hanya beda nama.
Dalam uraian ini Bhatara Siwa adalah sebagai Trimurti. Dalam buku-buku Purana Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa, sedangkan dalam kutipan di atas adalah Brahma, Wisnu, dan Rudra. Dalam puja Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu dan Iswara.
Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu, dan Iswara dalam aksara dilambangkan sebagai “am, um, mam”. Kesatuan ketiga-ketiganya adalam “Om”. Bhatara Siwa sebagai Trimurti dalam lontar-lontar kebanyakan disebut sebagai “ Brahma, Wisnu, dan Iswara yang dilambangkan dengan warna : putih, Merah dan Hitam. Aktivitas Bhatara Siwa waktu menciptakan dunia disebut : utpatti, waktu menjaga dan merawatnya disebut sthiti, dan waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina.
C. Siwa bersifat immanen dan transenden
Bhatara Siwa bersifat immanen dan juga transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, sedangkan transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Kutipan dibawah ini meyatakan hal itu :
Sivas sarvagata suksmah
bhutanam antariksavat,
acintya maha grhyante,
na indriyam parigrhyante

Bhattara Siwa swa wyapaka, sira suksma tar kneng angen-
angen, kadyangga ning akasa, tan kagrhita de ning
manah mwang indriya
(Bhuwana Kosa II.16)
Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan,
Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriya.
Kutipan ini menyatakan bahwa Bhatara Siwa meresapi segala, berada dimana-mana, meliputi segala. Dengan demikian Ia pun hadir pula dalam pikiran dan Indriya, namun pikiran dan indriya tidak mampu menggapai Ia. ini berarti Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Demikianlah aspek imanen dan transenden Bhatara Siwa

Diringkas Oleh:
Nama : IPutu Darma Prayoga
Nim : 080020058
Kelas : A082
Dari : Babad Bali

Kamis, 28 Mei 2009

Dead lock

Karakteristik Deadlock

Situasi deadlock dapat terjadi bila terdapat 4 kondisi yang berjalan serentak pada sistem.
Mutual Exclusion
Sebuah resource hanya dapat digunakan oleh sebuah proses pada suatu waktu tertentu. (resource yang non-shareable.)
Hold and Wait
terdapat proses yang sedang menunggu dan memegang resource.

Karakteristik Deadlock (cont.)

Non-preemption
Resource tidak dapat digunakan sebelum proses yang menggunakan telah selesai menggunakan dan kemudian melepaskannya.
Circular wait
Proses-proses berada dalam lingkaran. Terjadi saling menunggu resource yang sedang digunakan oleh proses berikutnya dalam lingkaran tersebut.

Pengendalian Deadlock
Mengabaikan, menganggap bahwa deadlock
tidak akan pernah terjadi.
Membiarkan terjadinya deadlock, lalu kemudian segera diperbaiki/recover.
Menggunakan protokol untuk meyakinkan bahwa sistem tidak akan pernahdeadlock.

Ostrich Algorithm

Algoritmapaling sederhana.
Mengabaikanterjadinyakondisideadlock.
Jadiapayang haruskitalakukanjikaterjadideadlock menurutOstrich algorithm?
Cukup di restart!

Mendeteksi dan memperbaiki

Mendeteksi apabiladalamsebuahproses
terjadi kondisiyang mengarahkecircular wait.
Apabila deadlock terjadi tentukan proses mana saja yang terlibat.
Setelah deadlock terdeteksi, biarkan proses yang mengalami deadlock selesai menggunakan resource, agar resource bisa digunakan. Atau stop semua proses yang terlibat deadlock.

Penggunaan Protokol

Deadlock Prevention
Menggunakan method supaya tidak terjadi salah
satu kondisi yang menyebabkan deadlock.
Deadlock Avoidance
Menghindari situasi yang dapat mengarah kepada terjadinya deadlock, sistem harus diberikan
informasi tambahan yang menyatakan resource
mana yang diminta proses, dan digunakan selama proses berjalan.

Deadlock prevention

Salah satu faktor-faktor penyebab deadlock
harus dapat dicegah.
Mutual Exclusion
Sifat alamiah sebuah resource (tidak bisa dicegah).Namun, ada beberapa resource yang dapat
di-spool.
Hold and Wait
Harus dipastikan bahwa ketika sebuah proses
merequest resource, proses itu tidak sedang memegang resource lain.

Deadlock prevention (cont.)

Non preemption
Mencegah supaya tidak ada proses dalam keadaan menunggu-mendapat-resource yang sedang digunakan oleh proses lain. (seluruh proses menjadi preemption).
Circular waiting
Mengatur agar setiap proses hanya dapat menggunakan sebuah sumber daya pada suatu waktu.
Melakukan penomoran resource.

Deadlock avoidance

Menyeleksi request resource dari proses-proses, apabila request itu ‘berbahaya’ maka requestnya akan ditunda dahulu hingga keadaan sudah aman.
Membutuhkan informasi tambahan mengenai aliran resource yang diminta.
Algoritma yang digunakan Algoritma Banker.

Deadlock detection

Jika tidak terdapat deadlock prevention atau avoidance dalam suatu sistem diperlukan suatu mekanisme untuk mengetahui terjadinya deadlock.
Menggunakan algoritmauntukmendeteksiadanyadeadlock.
Memeriksa penggunaan resource oleh proses-proses


Save vsUnsafe state

Ketika terjadi resource request, sistem harus memastikan proses berada dalam safe state
Safe state sistem dapat mengalokasikan resource untuk tiap-tiap proses dan mencegah terjadinya deadlock
Unsafe state sistem tidak dapat mengatur alokasi resource untuk tiap proses

Safe vs Unsafe state (cont.)

Jika sistem berada dalam kondisi safe state, berarti tidak terjadi deadlock.
Jika dalam kondisi unsafe state, kemungkinan bisa terjadi deadlock.


Banker’s algorithm

Setiap prosesharusmengklaimberapajumlahmaksimumresource yang akandigunakan.
Jikaresource tidaktersediamakapermintaanditunda.
Setiap prosesyang telahselesaiharusmengembalikanresource yang dipakai.

BANKER'S ALGORITHM

PROSES ALOKASI MAKS TERSEDIA
P1 2 5 2
P2 4 8
P3 2 3
P1 2 5 4
P2 4 8
P3 - -
P1 - - 6
P2 4 8
P3 - -

Kelemahan Banker’s algorithm

Proses kebanyakan belum mengetahui jumlah maksimum resource yang dibutuhkan.
Jumlah proses tidak tetap.
Beberapa resource dapat diambil dari sistem sewaktu-waktu.
Algoritma membuat sistem untuk memenuhi permintaan hingga waktu yang tidak terbatas.

Deadlock Recovery

Pemulihandeadlock dapatdilakukanmelalui:
Hapussemuaprosesyang terlibatdalamdeadlock.
Rollback danrestart proses.
Secarabertahaphapusproses-prosesyang terlibatdeadlock hinggatidakadadeadlock lagi.
Secaraberurutan, preempt resource-
resource sampaitidakadadeadlock.

Summary

Deadlock berpotensi terjadi pada sistem dengan multiproses akibat penggunaan resource bersama yang mengakibatkan konflik.
Ada beberapa cara untuk menghandle deadlock ini, namun tidak ada solusi umum mengenai deadlock.
Masing-masing teknik mempunyai kelemahan.

Sabtu, 02 Mei 2009

Round Robin

A. Round Robin (RR)

Merupakan :

· Penjadwalan yang paling tua, sederhana, adil, banyak digunakan

algoritmanya dan mudah diimplementasikan.

· Penjadwalan ini bukan dipreempt oleh proses lain tetapi oleh penjadwal

berdasarkan lama waktu berjalannya proses (preempt by time).

· Penjadwalan tanpa prioritas.

· Berasumsi bahwa semua proses memiliki kepentingan yang sama,

sehingga tidak ada prioritas tertentu.

Semua proses dianggap penting sehingga diberi sejumlah waktu oleh

pemroses yang disebut kwanta (quantum) atau time slice dimana proses itu

berjalan.Jika proses masih running sampai akhir quantum, maka CPU akan

mempreempt proses itu dan memberikannya ke proses lain.

Penjadwal membutuhkannya dengan memelihara daftar proses dari

runnable. Ketika quantum habis untuk satu proses tertentu, maka proses

tersebut akan diletakkan diakhir daftar (list), seperti nampak dalam gambar

berikut ini :

(a) (b)

Proses Proses Proses

saat berikutnya saat

ini ini

V V V

+---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+

+---+

: B :--: F :--: D :--: G :--: A : : B :--: F :--: D :--: G :-

-: A :

+---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+ +---+

+---+

Gambar 3.(a) : Daftar proses runnable.

3.(b) : Daftar proses runnable sesudah proses b habis

quantumnya.

Algoritma yang digunakan :

1. Jika kwanta habis dan proses belum selesai, maka proses menjadi

runnable dan pemroses dialihkan ke proses lain.

2. Jika kwanta belum habis dan proses menunggu suatu kejadian

(selesainya operasi I/O), maka proses menjadi blocked dan pemroses

dialihkan ke proses lain.

3. Jika kwanta belum habis tetapi proses telah selesai, maka proses diakhiri

dan pemroses dialihkan ke proses lain.

Diimplementasikan dengan :

1. Mengelola senarai proses ready (runnable) sesuai urutan kedatangan.

2. Ambil proses yang berada di ujung depan antrian menjadi running.

3. Bila kwanta belum habis dan proses selesai, maka ambil proses di ujung

depan antrian proses ready.

4. Jika kwanta habis dan proses belum selesai, maka tempatkan proses

running ke ekor antrian proses ready dan ambil proses di ujung depan

antrian proses ready.

Masalah yang timbul adalah menentukan besar kwanta, yaitu :

_ Kwanta terlalu besar menyebabkan waktu tanggap besar dan turn arround

time rendah.

_ Kwanta terlalu kecil menyebabkan peralihan proses terlalu banyak

sehingga menurunkan efisiensi proses.

Switching dari satu proses ke proses lain membutuhkan kepastian waktu

yang digunakan untuk administrasi, menyimpan, memanggil nilai-nilai

register, pemetaan memori, memperbaiki tabel proses dan senarai dan

sebagainya. Mungkin proses switch ini atau konteks switch membutuhkan

waktu 5 msec disamping waktu pemroses yang dibutuhkan untuk menjalankan

proses tertentu.

Dengan permasalahan tersebut tentunya harus ditetapkan kwanta waktu

yang optimal berdasarkan kebutuhan sistem dari hasil percobaan atau data

historis. Besar kwanta waktu beragam bergantung beban sistem. Apabila nilai

quantum terlalu singkat akan menyebabkan terlalu banyak switch antar proses

dan efisiensi CPU akan buruk, sebaliknya bila nilai quantum terlalu lama akan

menyebabkan respon CPU akan lambat sehingga proses yang singkat akan

menunggu lama. Sebuah quantum sebesar 100 msec merupakan nilai yang

dapat diterima.

Penilaian penjadwalan ini berdasarkan kriteria optimasi :

_ Adil, adil bila dipandang dari persamaan pelayanan oleh pemroses.

_ Efisiensi, cenderung efisien pada sistem interaktif.

_ Waktu tanggap, memuaskan untuk sistem interaktif, tidak memadai untuk

sistem waktu nyata.

_ Turn around time cukup baik.

_ Throughtput cukup baik.

Penjadwalan ini :

a. Baik untuk sistem interactive-time sharing dimana kebanyakan waktu

dipergunakan menunggu kejadian eksternal. Contoh : text editor,

kebanyakan waktu program adalah untuk menunggu keyboard, sehingga

dapat dijalankan proses-proses lain.

b. Tidak cocok untuk sistem waktu nyata apalagi hard-real-time

applications.