Rabu, 03 Juni 2009

Tatwa

Siwa Tatwa

“Memahami Siwa Tattwa Di Bali” ini menggunakan beberapa sumber Lontar seperti : Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa. Lontar-lontar tersebut adalah sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Adapun ikhtisar masing-masing Lontar tersebut adalah :
A. Bhuwana Kosa
Bhuwana Kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang di pandang sebagai Lontar tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Śiwaistik lainnya, seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajñāna, Maha jñāna, Ganapatitattwa dan sebagainya.
Dari segi isi secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : Bagian pertama adalah bagian Brahmarahasyam, yaitu : bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatāra Śiwa tentang Śiwa yang bersifat sangat rahasia. Sedangkan bagian kedua adalah : bagian Jñānarahasyam yang berisi percakapan antara Bhatāra Śiwa dengan Bhatāri Umā dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Śiwa yang bersifat sangat rahasia.
Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu : Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent. Immanent artinya : Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka), dan Transcendent artinya : Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia (Bhuwana Alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.
B. Wrhaspatitattwa
Wrhaspatitattwa dijelaskan terdiri atas 74 pasal dan menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksud sebagai terjemahan/penjelasan Sanskertanya.
Wrhaspatitattwa berisikan dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iswara berstana di pucak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga.
Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam dialog itu adalah : Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran dan Acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu : Parama Śiwa Tattwa, Sada Śiwa Tattwa, dan Śiwatma Tattwa, yang juga disebut dengan Cetana Telu (tiga tingkatan kesadaran). Yang ketiganya itu tidak lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramaśiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadaśiwa memiliki tingkat kesadaran menengah, dan Śiwatma memiliki tingkat kesadaran yang terendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh māyā. Paramaśiwa bebas dari pengaruh māyā sedang-sedang saja, sedangkan Śiwatma mendapat pengaruh Māyā yang paling kuat.
Sanghyang Widhi Paramaśiwa adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu mayā, karena itu Ia disebut “Nirguna Brahman”. Dan Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas.
Kemudian Paramaśiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh māyā. Dan pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaśiwa. Yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan SthanaNya. Pada tingkatan Paramaśiwa ini digambarkan sebagai perwujudan mantra disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan : Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan. Dengan Sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaanNya, karena itu, Ia disebut “Saguna Brahman”.
Pada tingkatan Śiwatma Tattwa, sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh māyā. Karena itu Śiwatma Tattwa disebut juga Māyā Sira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh māyā terhadap Śiwatma Tattwa, Śiwatma Tattwa tersebut dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut “Astawidyasana”. Dapat dijelaskan juga disini bilamana pengaruh māyā sudah demikian besarnya terhadap Śiwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi “Awidya”. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk didalamnya adalah manusia, maka Ia disebut Atma dan Jiwatman.
Meskipun Ātma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (ŚIWĀ), namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Māyā (Prdhāna Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Ātma ada dalam lingkungan Sorga-Neraka-Samsara secara berulang-ulang. Ātma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Dan apabila dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tersebut tadi, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran Samsara dan Reinkarnasi.
Bentruk atau wujud Reinkarnasi Ātma sangat banyak tergantung karma wasananya Ātma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk Reinkarnasi itu adalah sebagai “Sthawara Janggama” yang disebutkan sebagai penjelmaan yang paling jelek. Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus dihadiri. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspati tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan :
mempelajari segala tattwa (Jñanābhyudreka)
tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga).
tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (Trsnādosaksaya).
Dan lain dari pada yang tersebut itu, Wrhaspati Tattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadangga Yoga, yaitu Yoga yang didasari dan dibangun oleh Dasa sila (sepuluh prilaku yang baik).
C. Ganapati Tattwa
Ganapati Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā, dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara Śiwa sebagai Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu : tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna, Sukha, Acintya yaitu berkeadaan Maha bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya dan muncullah Sanghyang Jñanā Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga disebut Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang didalamnya terdapat Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.
Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut : “Gūhyalaya”. Dan juga Ganapati Tattwa mengajarkan tentang hakekat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata. Yang pertama-tama diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu :
1. Dari Brahma lahir gandha tan matra
2. Dari Wisnu lahir rasa tanmatra
3. Dari Rudra lahir rupa tanmatra
4. Dari Iswara lahir sparsa tanmatra
5. Dari Sadāśiwa lahir sabda tanmatra
Kemudian kelima tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit, seperti :
1. Sabda tanmatra menjadi Akasa, berwarna bersih dan bening
2. Sparsa tanmatra menjadi Bayu, yang berwarna putih
3. Rupa tanmatra menjadi Teja, berwarna putih, merah dan hitam
4. Rasa tanmatra menjadi Apah, berwarna hitam
5. Gandha tanmatra menjadi Pertiwi, berwarna kuning
Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai pada tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti :
1. Pertiwi lahir bumi atau tanah
2. Teja lahir matahari, bulan dan bintang
3. Apah lahir air
4. Bayu lahir angin
5. Akasa lahir suara
Dan setelah alam semesta itu tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan Panca Dewata berperan sebagai penjaganya, seperti :
1. Brahma bertempat di selatan menjaga bumi
2. Wisnu bertempat di utara menjaga air
3. Rudra bertempat di barat menjaga matahari, bulan dan bintang
4. Iswara bertempat di timur mejaga udara
5. Sadāśiwa bertempat ditengah menjaga ether
Demikianlah proses penciptaan bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata.
Proses penciptaan bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan penciptaan bhuwana agung, dan yang sama-sama diciptakan oleh Panca Dewata, seperti :
Brahma dan Wisnu menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air.
Rudra menciptakan mata dari teja
Iswara menciptakan nafas dari bayu
Sadāśiwa menciptakan suara dari akasa
Setelah itu barulah terbentuk Ātma menjelma dalam kehidupan manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut, seperti :
1. Brahma menempati muladara
2. Wisnu menempati nabhi (pusar)
3. Rudra menempati hati
4. Iswara menempati leher
5. Sadāśiwa menempati ujung lidah
Dalam proses perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan yang menjadi benih manusia disebut “Rupa Suksma” yang berkeadaan abstrak dan gaib. Rupa suksma ini menjadi sukla yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan, sedangkan swanita keluar dari Pradhana Tattwa. Keduanya kemudian bercampur dalam rahim si ibu. Disanalah ia terbentuk dan berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
- Umur satu bulan rupanya seperti buih
- Umur tiga bulan berwujud gumpalan darah
- Umur empat bulan menjadi Śiwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi ongkara dan suksma rupa
- Umur lima bulan menjadi Maya Reka
- Umur enam bulan menjadi seperti air
- Umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut gading
- Pada umur kedelapan menjadi anak gading yang disertai dengan nafas yang keluar dari ongkara, juga tulang, kuku da rambut
- Umur sepuluh bulan di jabang bayi keluar dari perut ibu
Yang menghidupi dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat perkembangannya, namun sesungguhnya hakekatnya adalah sama. Ketika masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Dan setelah sepuluh bulan dijiwai oleh sunia. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa menyebut nama ibu-ayah dihidupi oleh jiwa. Dan setelah dewasa dihidupi oleh Ātma.
Pada saat kematian terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : Ātma kembali kepada jiwa; jiwa kembali pada Nirwana; Nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmenge, dan Sanghyang Ngamutmenge kembali kepada niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.
Tujuan dari kelahiran adalah untuk bersatunya kembali Ātma kepada sumbernya, tidak terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati Tattwa memperkenalkan enam jenis yoga yang disebut dengan Sad Angga Yoga. Seorang Yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan Swalingga (Ātma lingga) dalam dirinya, di samping para lingga yang ada diluar dirinya. Dan tubuhnya sendiri dipandang sebagai kahyangan Dewata, sebagai Sadhana untuk mencapai kelepasan. Pada saat Ātma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga Ātma mencapai tujuan tertinggi.
Ada dua kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
1. Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang akan mengantarkan pada kemoksaan, apabila petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dilaksanakan dengan teguh. Disini Ātma tidak akan terlahirkan kembali.
2. Mungkin akan mencapai wyudhbhranti, yang akan mengantarkan pada kelahiran kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
Kelepasan dan kemoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia harus dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Jñāna dengan baik, adanya keyakinan terhadap ajaran tersebut, mampu mengendalikan indrya, patuh dan bhakti kepada guru, teguh dan tekun melaksanaka ajaran dharma, serta berlak suci lahir-batin sebagai landasan hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan seseorang pada pencapaian kelepasan atau kemoksan.
TUHAN DALAM SIWA TATTWA
A. Pandangan Umum
Sanghyang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu di Indonesia. Nama ini berarti Yang menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra lontar. Bhatara Siwalah panggilannya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra-sastra agama, seperti pada lontar-lontar yang disebutkan pada Lontar Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa dan lain sebagainya, maupun dalam saat, puja, upakara, arca-arca dan tempat-tempat pemujaan. Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sanghyang Widhi sebagai Bhatara Śiwa.
Dalam sastra-sastra agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran seperti yang tersebut di atas sering disebut ajaran Śaivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kita kepada nama Śaivasiddhantadi India selatan, namun bila diamati, terdapat perbedaan-perbedaan antara ajaran Śaivasiddhanta Indonesia dengan ajaran Śaivasiddhanta India Selatan. Dalam ajaran Śaivasiddhanta di Indonesia tanpa jalinan Upanisad (terutama Śvetaśvatara Upanisad dan Upanisad-upanisad Minor), ajaran Sankhya, Yoga, Vedanta atau ajaran-ajaran yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang pada akhirnya semua ajaran itu mengalir dari Weda. Maka Weda-lah sumber pertama ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, hakekatnya, jiwa dan semangatnya adalah sama.
Ajaran ketuhanan dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa. Kutipan-kutipan Weda dibawah ini menyatakan hal itu :
Indram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman,
ekam sad vipra bahudha vedantyagnim yamam matarisvanam ahuh
(Rg Veda I.164.46)
Artinya :

Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia
yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.
Satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut dengan banyak
nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapat uraian tentang Tuhan yang senada dengan isi mantra veda tersebut di atas. Uraian itu adalah sebagai berikut :
Sa eko bhagavan sarvah
Siva karana karanam,
aneko viditah sarwah
catur vidhasya karanam
Ek twanckatwa swalaksana Bhattara, Ekatwa ngaranya,
kahidep makalaksana ng siwatattwa. Ndan tunggal,
tan rwatiga kehidepanira. Mengekalaksana Siwa karana
juga, tan pa prabheda.
Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiran sthula suksma parasunya.
Artinya :
Sifat Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan.
Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah Sthula suksma para sunya.

Uraian-uraian seperti ini juga akan kita jumpai pula dalam lontar-lontar lainnya.
B. Tuhan Sumber Segala
Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sanskerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau bahasa Bali. Tuhan adalah sumber hidup, sumber tenaga, dari Dialah asal segala yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Taittiriya Upanisad menerangkan hal ini sebagai berikut :
Yato va imani bhutani jayante,
yena jatani jivanti
yat prayanty abhisam visanti,
tad vijinasasva tad brahmeti.
(Taittiriya Upanisad III.1)
Artinya :
Dari mana semua ini lahir, dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk setelah kembali, ketahuilah, bahwa itu adalah Brahman.
Dalam Siwatattwa, Brahman adalah Bhatara Siwa. Dialah yang mencipta, memelihara dan mengembalikan semua yang ada kepada dirinya sendiri, asal semua yang ada ini.
Brahmasrjayate lokam,
visnuve palakasthitam,
rudratve samharasceva,
trimurtih nama evaca
Lwir Bhattara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran
pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra
rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama.
(Bhuwana Kosa III.76)
Artinya :
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini ialah :
Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini,
Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini,
Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
Demikianlah tiga wujudNya (Trimurti) hanya beda nama.
Dalam uraian ini Bhatara Siwa adalah sebagai Trimurti. Dalam buku-buku Purana Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa, sedangkan dalam kutipan di atas adalah Brahma, Wisnu, dan Rudra. Dalam puja Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu dan Iswara.
Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu, dan Iswara dalam aksara dilambangkan sebagai “am, um, mam”. Kesatuan ketiga-ketiganya adalam “Om”. Bhatara Siwa sebagai Trimurti dalam lontar-lontar kebanyakan disebut sebagai “ Brahma, Wisnu, dan Iswara yang dilambangkan dengan warna : putih, Merah dan Hitam. Aktivitas Bhatara Siwa waktu menciptakan dunia disebut : utpatti, waktu menjaga dan merawatnya disebut sthiti, dan waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina.
C. Siwa bersifat immanen dan transenden
Bhatara Siwa bersifat immanen dan juga transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, sedangkan transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Kutipan dibawah ini meyatakan hal itu :
Sivas sarvagata suksmah
bhutanam antariksavat,
acintya maha grhyante,
na indriyam parigrhyante

Bhattara Siwa swa wyapaka, sira suksma tar kneng angen-
angen, kadyangga ning akasa, tan kagrhita de ning
manah mwang indriya
(Bhuwana Kosa II.16)
Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan,
Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriya.
Kutipan ini menyatakan bahwa Bhatara Siwa meresapi segala, berada dimana-mana, meliputi segala. Dengan demikian Ia pun hadir pula dalam pikiran dan Indriya, namun pikiran dan indriya tidak mampu menggapai Ia. ini berarti Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Demikianlah aspek imanen dan transenden Bhatara Siwa


“Memahami Siwa Tattwa Di Bali” ini menggunakan beberapa sumber Lontar seperti : Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa. Lontar-lontar tersebut adalah sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Adapun ikhtisar masing-masing Lontar tersebut adalah :
A. Bhuwana Kosa
Bhuwana Kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang di pandang sebagai Lontar tertua dan sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Śiwaistik lainnya, seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajñāna, Maha jñāna, Ganapatitattwa dan sebagainya.
Dari segi isi secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : Bagian pertama adalah bagian Brahmarahasyam, yaitu : bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatāra Śiwa tentang Śiwa yang bersifat sangat rahasia. Sedangkan bagian kedua adalah : bagian Jñānarahasyam yang berisi percakapan antara Bhatāra Śiwa dengan Bhatāri Umā dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Śiwa yang bersifat sangat rahasia.
Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu : Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent. Immanent artinya : Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka), dan Transcendent artinya : Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya. Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak, tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia (Bhuwana Alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.
B. Wrhaspatitattwa
Wrhaspatitattwa dijelaskan terdiri atas 74 pasal dan menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksud sebagai terjemahan/penjelasan Sanskertanya.
Wrhaspatitattwa berisikan dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iswara berstana di pucak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga.
Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam dialog itu adalah : Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran dan Acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu : Parama Śiwa Tattwa, Sada Śiwa Tattwa, dan Śiwatma Tattwa, yang juga disebut dengan Cetana Telu (tiga tingkatan kesadaran). Yang ketiganya itu tidak lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya. Paramaśiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadaśiwa memiliki tingkat kesadaran menengah, dan Śiwatma memiliki tingkat kesadaran yang terendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh māyā. Paramaśiwa bebas dari pengaruh māyā sedang-sedang saja, sedangkan Śiwatma mendapat pengaruh Māyā yang paling kuat.
Sanghyang Widhi Paramaśiwa adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu mayā, karena itu Ia disebut “Nirguna Brahman”. Dan Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas.
Kemudian Paramaśiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh māyā. Dan pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaśiwa. Yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan SthanaNya. Pada tingkatan Paramaśiwa ini digambarkan sebagai perwujudan mantra disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan : Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan. Dengan Sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaanNya, karena itu, Ia disebut “Saguna Brahman”.
Pada tingkatan Śiwatma Tattwa, sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh māyā. Karena itu Śiwatma Tattwa disebut juga Māyā Sira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh māyā terhadap Śiwatma Tattwa, Śiwatma Tattwa tersebut dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut “Astawidyasana”. Dapat dijelaskan juga disini bilamana pengaruh māyā sudah demikian besarnya terhadap Śiwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi “Awidya”. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk didalamnya adalah manusia, maka Ia disebut Atma dan Jiwatman.
Meskipun Ātma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (ŚIWĀ), namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Māyā (Prdhāna Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Ātma ada dalam lingkungan Sorga-Neraka-Samsara secara berulang-ulang. Ātma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Dan apabila dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tersebut tadi, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran Samsara dan Reinkarnasi.
Bentruk atau wujud Reinkarnasi Ātma sangat banyak tergantung karma wasananya Ātma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk Reinkarnasi itu adalah sebagai “Sthawara Janggama” yang disebutkan sebagai penjelmaan yang paling jelek. Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus dihadiri. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspati tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan :
mempelajari segala tattwa (Jñanābhyudreka)
tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga).
tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (Trsnādosaksaya).
Dan lain dari pada yang tersebut itu, Wrhaspati Tattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadangga Yoga, yaitu Yoga yang didasari dan dibangun oleh Dasa sila (sepuluh prilaku yang baik).
C. Ganapati Tattwa
Ganapati Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā, dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara Śiwa sebagai Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana yang disebut pula Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu : tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna, Sukha, Acintya yaitu berkeadaan Maha bahagia yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah evolusi dari Sanghyang Sukha Acintya dan muncullah Sanghyang Jñanā Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga disebut Sanghyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah Ia menampilkan diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang didalamnya terdapat Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.
Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang sebagai badan perwujudan Tuhan itu sendiri. Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau hati yang suci yang disebut : “Gūhyalaya”. Dan juga Ganapati Tattwa mengajarkan tentang hakekat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata. Yang pertama-tama diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu :
1. Dari Brahma lahir gandha tan matra
2. Dari Wisnu lahir rasa tanmatra
3. Dari Rudra lahir rupa tanmatra
4. Dari Iswara lahir sparsa tanmatra
5. Dari Sadāśiwa lahir sabda tanmatra
Kemudian kelima tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih konkrit, seperti :
1. Sabda tanmatra menjadi Akasa, berwarna bersih dan bening
2. Sparsa tanmatra menjadi Bayu, yang berwarna putih
3. Rupa tanmatra menjadi Teja, berwarna putih, merah dan hitam
4. Rasa tanmatra menjadi Apah, berwarna hitam
5. Gandha tanmatra menjadi Pertiwi, berwarna kuning
Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai pada tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti :
1. Pertiwi lahir bumi atau tanah
2. Teja lahir matahari, bulan dan bintang
3. Apah lahir air
4. Bayu lahir angin
5. Akasa lahir suara
Dan setelah alam semesta itu tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan Panca Dewata berperan sebagai penjaganya, seperti :
1. Brahma bertempat di selatan menjaga bumi
2. Wisnu bertempat di utara menjaga air
3. Rudra bertempat di barat menjaga matahari, bulan dan bintang
4. Iswara bertempat di timur mejaga udara
5. Sadāśiwa bertempat ditengah menjaga ether
Demikianlah proses penciptaan bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata.
Proses penciptaan bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan penciptaan bhuwana agung, dan yang sama-sama diciptakan oleh Panca Dewata, seperti :
Brahma dan Wisnu menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air.
Rudra menciptakan mata dari teja
Iswara menciptakan nafas dari bayu
Sadāśiwa menciptakan suara dari akasa
Setelah itu barulah terbentuk Ātma menjelma dalam kehidupan manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati bagian-bagian tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut, seperti :
1. Brahma menempati muladara
2. Wisnu menempati nabhi (pusar)
3. Rudra menempati hati
4. Iswara menempati leher
5. Sadāśiwa menempati ujung lidah
Dalam proses perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan yang menjadi benih manusia disebut “Rupa Suksma” yang berkeadaan abstrak dan gaib. Rupa suksma ini menjadi sukla yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan, sedangkan swanita keluar dari Pradhana Tattwa. Keduanya kemudian bercampur dalam rahim si ibu. Disanalah ia terbentuk dan berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
- Umur satu bulan rupanya seperti buih
- Umur tiga bulan berwujud gumpalan darah
- Umur empat bulan menjadi Śiwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi ongkara dan suksma rupa
- Umur lima bulan menjadi Maya Reka
- Umur enam bulan menjadi seperti air
- Umur bulan ketujuh menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut gading
- Pada umur kedelapan menjadi anak gading yang disertai dengan nafas yang keluar dari ongkara, juga tulang, kuku da rambut
- Umur sepuluh bulan di jabang bayi keluar dari perut ibu
Yang menghidupi dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat perkembangannya, namun sesungguhnya hakekatnya adalah sama. Ketika masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Dan setelah sepuluh bulan dijiwai oleh sunia. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa menyebut nama ibu-ayah dihidupi oleh jiwa. Dan setelah dewasa dihidupi oleh Ātma.
Pada saat kematian terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : Ātma kembali kepada jiwa; jiwa kembali pada Nirwana; Nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmenge, dan Sanghyang Ngamutmenge kembali kepada niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.
Tujuan dari kelahiran adalah untuk bersatunya kembali Ātma kepada sumbernya, tidak terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati Tattwa memperkenalkan enam jenis yoga yang disebut dengan Sad Angga Yoga. Seorang Yogi dalam melaksanakan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan Swalingga (Ātma lingga) dalam dirinya, di samping para lingga yang ada diluar dirinya. Dan tubuhnya sendiri dipandang sebagai kahyangan Dewata, sebagai Sadhana untuk mencapai kelepasan. Pada saat Ātma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga Ātma mencapai tujuan tertinggi.
Ada dua kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
1. Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang akan mengantarkan pada kemoksaan, apabila petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dilaksanakan dengan teguh. Disini Ātma tidak akan terlahirkan kembali.
2. Mungkin akan mencapai wyudhbhranti, yang akan mengantarkan pada kelahiran kembali, bila semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.
Kelepasan dan kemoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia harus dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Jñāna dengan baik, adanya keyakinan terhadap ajaran tersebut, mampu mengendalikan indrya, patuh dan bhakti kepada guru, teguh dan tekun melaksanaka ajaran dharma, serta berlak suci lahir-batin sebagai landasan hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan seseorang pada pencapaian kelepasan atau kemoksan.
TUHAN DALAM SIWA TATTWA
A. Pandangan Umum
Sanghyang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu di Indonesia. Nama ini berarti Yang menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra lontar. Bhatara Siwalah panggilannya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra-sastra agama, seperti pada lontar-lontar yang disebutkan pada Lontar Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa dan lain sebagainya, maupun dalam saat, puja, upakara, arca-arca dan tempat-tempat pemujaan. Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sanghyang Widhi sebagai Bhatara Śiwa.
Dalam sastra-sastra agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran seperti yang tersebut di atas sering disebut ajaran Śaivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kita kepada nama Śaivasiddhantadi India selatan, namun bila diamati, terdapat perbedaan-perbedaan antara ajaran Śaivasiddhanta Indonesia dengan ajaran Śaivasiddhanta India Selatan. Dalam ajaran Śaivasiddhanta di Indonesia tanpa jalinan Upanisad (terutama Śvetaśvatara Upanisad dan Upanisad-upanisad Minor), ajaran Sankhya, Yoga, Vedanta atau ajaran-ajaran yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang pada akhirnya semua ajaran itu mengalir dari Weda. Maka Weda-lah sumber pertama ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, hakekatnya, jiwa dan semangatnya adalah sama.
Ajaran ketuhanan dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa. Kutipan-kutipan Weda dibawah ini menyatakan hal itu :
Indram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman,
ekam sad vipra bahudha vedantyagnim yamam matarisvanam ahuh
(Rg Veda I.164.46)
Artinya :

Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia
yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.
Satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut dengan banyak
nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.
Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapat uraian tentang Tuhan yang senada dengan isi mantra veda tersebut di atas. Uraian itu adalah sebagai berikut :
Sa eko bhagavan sarvah
Siva karana karanam,
aneko viditah sarwah
catur vidhasya karanam
Ek twanckatwa swalaksana Bhattara, Ekatwa ngaranya,
kahidep makalaksana ng siwatattwa. Ndan tunggal,
tan rwatiga kehidepanira. Mengekalaksana Siwa karana
juga, tan pa prabheda.
Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiran sthula suksma parasunya.
Artinya :
Sifat Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan.
Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah Sthula suksma para sunya.

Uraian-uraian seperti ini juga akan kita jumpai pula dalam lontar-lontar lainnya.
B. Tuhan Sumber Segala
Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sanskerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau bahasa Bali. Tuhan adalah sumber hidup, sumber tenaga, dari Dialah asal segala yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Taittiriya Upanisad menerangkan hal ini sebagai berikut :
Yato va imani bhutani jayante,
yena jatani jivanti
yat prayanty abhisam visanti,
tad vijinasasva tad brahmeti.
(Taittiriya Upanisad III.1)
Artinya :
Dari mana semua ini lahir, dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk setelah kembali, ketahuilah, bahwa itu adalah Brahman.
Dalam Siwatattwa, Brahman adalah Bhatara Siwa. Dialah yang mencipta, memelihara dan mengembalikan semua yang ada kepada dirinya sendiri, asal semua yang ada ini.
Brahmasrjayate lokam,
visnuve palakasthitam,
rudratve samharasceva,
trimurtih nama evaca
Lwir Bhattara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran
pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra
rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama.
(Bhuwana Kosa III.76)
Artinya :
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini ialah :
Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini,
Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini,
Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
Demikianlah tiga wujudNya (Trimurti) hanya beda nama.
Dalam uraian ini Bhatara Siwa adalah sebagai Trimurti. Dalam buku-buku Purana Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa, sedangkan dalam kutipan di atas adalah Brahma, Wisnu, dan Rudra. Dalam puja Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu dan Iswara.
Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu, dan Iswara dalam aksara dilambangkan sebagai “am, um, mam”. Kesatuan ketiga-ketiganya adalam “Om”. Bhatara Siwa sebagai Trimurti dalam lontar-lontar kebanyakan disebut sebagai “ Brahma, Wisnu, dan Iswara yang dilambangkan dengan warna : putih, Merah dan Hitam. Aktivitas Bhatara Siwa waktu menciptakan dunia disebut : utpatti, waktu menjaga dan merawatnya disebut sthiti, dan waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina.
C. Siwa bersifat immanen dan transenden
Bhatara Siwa bersifat immanen dan juga transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, sedangkan transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Kutipan dibawah ini meyatakan hal itu :
Sivas sarvagata suksmah
bhutanam antariksavat,
acintya maha grhyante,
na indriyam parigrhyante

Bhattara Siwa swa wyapaka, sira suksma tar kneng angen-
angen, kadyangga ning akasa, tan kagrhita de ning
manah mwang indriya
(Bhuwana Kosa II.16)
Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan,
Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriya.
Kutipan ini menyatakan bahwa Bhatara Siwa meresapi segala, berada dimana-mana, meliputi segala. Dengan demikian Ia pun hadir pula dalam pikiran dan Indriya, namun pikiran dan indriya tidak mampu menggapai Ia. ini berarti Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Demikianlah aspek imanen dan transenden Bhatara Siwa

Diringkas Oleh:
Nama : IPutu Darma Prayoga
Nim : 080020058
Kelas : A082
Dari : Babad Bali

2 komentar:

  1. Om Swastyastu, Matur Suksme ( Terima Kasih ), atas segala sumber yang tidak ternilai maknanya sebagai sesuluh bagi saya, sekali lagi matur suksme. Om Shanti Shanti Shanti Om.

    BalasHapus
  2. Saya punya usul ttg pengertian immanen dan transenden agar mudah dicerna. Tuhan bersifat immanen kalau dianggap Tuhan itu berada dalam ciptaaanNya. Sejauh mana keberadaanNya, tentu sulit ditegaskan. Misalnya tumbuh2an yg berkembang, tentu ada unsur immanenNya. Pemikiran atau konsep transenden justru sebaliknya. Tuhan berada di luar ciptaanNya. Bebas bergerak lincah kemana-mana (kata tran mewakili). Jadi kalau Tuhan immanen dan transenden berarti Tuhan bisa melakukan keduanya. Tapi apakah demikian sesungguhnya kepercayaan semua orang? Tentu tidak, Krn membincangkan Tuhan sangat sulit/subyektif. Tiap orang punya pemahaman dan kadar keyakinan masing2! Termasuk misal dalam tauhid Islam, tentu tidak percaya Tuhan ada di dalam diri seseorang. Apalagi Tuhan dalam badan babi misalnya.

    BalasHapus